0

Zakat dan Hikmahnya.

Ditengah-tengah berbagai krisis yang sedang melanda bangsa kita sekarang ini, sudah sepantasnya (bahkan seharusnya) apabila kita melihat secara lebih seksama dan sungguh-sungguh beberapa jalan keluar yang dikemukakan ajaran islam, yang kita yakini kebenarannya dan ketepatannya (QS. 2:2, QS. 2:147, QS. 17:9). Salah satunya adalah penataan zakat, infak dan shadaqah (ZIS) secara benar dan bertanggung jawab.

Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima'iyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan (Yusuf Qordhowi, Al Ibadah, 1993) baik dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan ummat. Sebagai suatu ibadah pokok zakat termasuk salah satu rukun Islam yang lima, seperti diungkapkan hadits nabi (Mus'id As-Sa'dani Al Arba'in An-Nawawiyyah, 1994) sehingga keberadaannya dianggap makhan min ad-dien bi adl-dlarurah (ketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman) (Ali Yafie, Fiqh Sosial, 1994). Di dalam Al Qu'ran terdapat kurang lebih 27 ayat yang mensejajarkan shalat dengan kewajiban zakat, dan hanya satu kali disebutkan dalam konteks yang sama akan tetapi dalam ayat berbeda, yaitu surat Al-Mukminun ayat 2 dengan ayat 4 (Yusuf Qardhawi, Fiqh Zakat, 1973).


Al Qur'an menyatakan bahwa kesediaan berzakat di pandang sebagai indikator utama kedudukan seseorang kepada ajaran Islam (QS. 9:5 dan QS. 9:11), sekaligus sebagai ciri orang yang mendapatkan kebahagiaan (QS. 23:4), akan mendapatkan rahmat dan pertolonganNya (QS.9: 71 dan QS. 22: 40-41). Kesadaran berzakat dipandang sebagai orang yang memperhatikan hak fakir miskin dan para mustahik (orang yang berhak mendapatkan zakat) lainnya (QS. 9:60), sekaligus dipandang sebagai orang yang membersihkan, menyuburkan dan mengembangkan hartanya serta mensucikan jiwanya (QS. 9:103 dan QS. 30:39).


Sebaliknya Al Qur'an dan hadits Nabi memeberkan peringatan keras terhadap orang yang enggan mengeluarkannya, berhak untuk diperangi (HR. Imam Bukhari dan Muslim dari sanadnya Ibnu Umar), harta bendanya akan hancur dirusak (HR. Imam Bazzar dan Baihaqi), dan apabila keengganan itu memasal, maka Allah SWT akan menurunkan ahzab Nya dalam bentuk kemarau yang panjang (HR. Imam Thabrani). Sedangkan di akhirat nanti, harta benda yang tidak dikeluarkannya akan menjadi azab bagi pemiliknya (QS. 9:34-35) dan HR. Imam Muslim dari sanadnya Jabir bin Abdullah. Karena itu Khalifah Abu Bakar Siddiq bertekad untuk memerangi orang yang mau shalat tetapi secara sadar dan sengaja enggan untuk berzakat (Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, 1968). Abdullah bin mas'ud menyatakan bahwa, barang siapa yang melaksanakan shalat tetapi enggan melaksanakan zakat, maka tidak ada shalat baginya (abdul Qasim bin Salam, Al Amwaal, 1986).


Disamping zakat, dikenal pula infaq dan shadaqah, yang keduanya merupakan bagian dari keimanan seseorang, artinya infaq dan shadaqah itu merupakan ciri utama orang yang benar keimanannya (QS. 8: 3-4), ciri utama orang yang bertaqwa (QS. 2: 3 dan QS. 9: 134), ciri mu'min yang mengharapkan balasan yang abadi dari Allah SWT (QS. 35: 29). Atas dasar itu, infaq dan shadaqah sangat dianjurkan dalam segala keadaan, sesuai dengan kemampuan (Qs 3: 134). Jika enggan berinfaq, maka sama halnya dengan menjatuhkan diri pada kebinasaan (QS. 2: 195). Infaq dan shadaqah tidak ditentukan jumlahnya (bisa besar, kecil banyak atau sedikit) tidak ditentukan pula sasaran penggunannya, yaitu semua kebaikan yang diperintahkan ajaran Islam (QS. 2:213).