0

UPZ Pakistan Lantik Pengurus Baru

Islamabad: Setelah UPZ Pakistan berjalan secara resmi selama dua tahun akhirnya regenerasi pun menjadi keniscayaan. Hendri Tanjung, S.Si, M.M., Ketua UPZ saat ini, dengan segenap pengurus baru akan menjalankan roda badan sosial tersebut setelah masa kepengurusan yang lama berakhir. Sesuai SK yang ditandatangani langsung oleh Ketua Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Prof. Dr. Didin Hafiduddin, kepengurusan Hendri untuk periode 2008-2010.

Dalam perjalanannya, kontribusi UPZ Pakistan telah membantu dalam menjalankan fungsinya sebagai badan zakat, infaq-sadaqah kepada pihak yang membutuhkan. Selain program distribusi zakat kepada masayarakat seperti orang sakit, korban gempa dan santunan biaya sakit dan beasiswa kepada mahasiswa yang kurang mampu, UPZ Pakistan juga selalu mengupayakan adanya sosialisasi mengenai kesadaran berzakat, berinfak dan bersedekah. Dengan adanya kesadaran dalam berzakat, seseorang akan terlatih menjadi insan yang mandiri dan berkeinginan untuk menjadi pemberi (muzakki).Zakat merupakan kewajiban agama yang menjadi salah satu program paling efektif dalam mengentaskan kemiskinan dan kefakiran manusia.

Pelantikan pengurus UPZ diadakan di gedung Aula Budaya Nusantara KBRI Islamabad bersamaan dengan acara buka bersama yang diadakan pada hari Jumat, 12-9-2008. Format acara pelantikan UPZ dibuat dengan sederhana namun cukup memberi manfaat bagi para pesertanya, yaitu dengan format sarasehan yang menghadirkan petinggi UPZ lama, Bpk Hendri Tanjung sendiri dan Sdr. Evi Hanafiah, untuk berbincang-bincang mengenai kegiatan dan perjalanan UPZ pada periode sebelumnya.

Setelah paparan mengenai UPZ periode lama yang membahas distribusi zakat sekaligus kendala yang ada, acara dilanjutkan dengan sesi tanya jawab oleh para audien, baik dari kalangan pegawai KBRI, mahasiswa dan masyarakat lain secara umum. Di akhir acara, doa bersama yang dipimpin M. Niam Sutaman, LLM dilantunkan yang sekaligus bertepatan dengan waktu berbuka puasa di Islamabad, Pakistan.

0

Kesadaran Berzakat, Berdayakan Ekonomi Umat

Oleh Muttaqien


Pada bulan Ramadhan ini, selain umat Islam diwajibkan berpuasa, masih ada kewajiban tahunan lainnya, yakni berzakat kepada para fakir dan miskin (dhuafa). Namun kewajiban membayar zakat ini tidak terbatas pada zakat fitrah semata, karena masih ada kewajiban membayar zakat lainnya, seperti zakat profesi, zakat perhiasan, dan lain sebagainya. Ada sejumlah golongan orang yang wajib menerima zakat. Yang utama adalah orang fakir (fuqoro) dan orang miskin (masakin). Setelah itu musafir (musafirin ), orang yang sedang menuntut ilmu di jalan Allah namun kekurangan biaya (ibnu sabil), orang yang baru masuk Islam (mu'allafah), dan pekerja yang kondisinya miskin (amilin).


Empat puluh persen lebih penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, atau sekitar 50 juta jiwa, hidup dalam kondisi miskin (Biro Pusat Statistik, 2001). Belenggu kemiskinan mereka inilah yang telah menimbulkan kekurangan gizi, kesehatan yang buruk (baik fisik maupun mental), rumah-rumah tidak layak huni, dan pendi-dikan anak yang terbengkalai. Dampak negatif lain dari kemiskinan yang luas tersebut adalah memicu terjadi-nya banyak tindak kriminalitas, karena kelaparan yang menimpa orang-orang lemah iman seringkali membuat akal sehatnya tak dapat mereka gunakan lagi, sehingga banyak yang terlibat kasus pencurian, pencopetan, penodongan, dan perampokan.


Zakat, yang secara harfiah bermakna pembersih, pada hakikatnya memiliki makna ganda. Pertama, sebagai sebuah ibadah. Ada sekitar 20 ayat dalam Al Quran yang menggandengkan perintah zakat dengan shalat. Kedua, zakat pun memiliki fungsi sosial yang tinggi, yakni sebagai upaya menanggulangi ketimpangan distribusi pendapatan, mengurangi kemiskinan, dan mengatasi pengangguran (Timur Kuran, Alternative Economic of Islam, 1996). Fungsi sosial inilah yang kemudian dikembangkan para ekonom Islam sebagai dasar kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam. Legitimasi dari Allah dalam Al Quran telah menjadikan zakat memiliki landasan sangat kuat untuk memotivasi umat Islam menunaikannya.


Fungsi zakat

Allah SWT dalam Al Quran berfirman: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (At Taubah: 103). Kata tuthahhiruhum dalam ayat itu bermakna membersihkan jiwa, sedangkan tuzakkihim bermakna mengembangkan harta. Karena itu, dengan ajaran zakat, ada dua manfaat yang diperoleh : jiwa menjadi suci dan harta makin berkembang, bukan terkurangi.

Misi pencucian dosa dalam berzakat memiliki dimensi ganda. Pertama, sebagai sarana pembersihan jiwa dari sifat serakah bagi orang yang berzakat, karena dia dituntut untuk berkorban (menyantuni) demi mengurangi penderitaan orang-orang lain. Kedua, zakat sebagai penebar kasih sayang kepada kaum yang tidak beruntung sekaligus sebagai penghalang tumbuhnya benih kebencian dari si miskin terhadap kaum kaya. Dengan demikian, zakat dapat menciptakan ketenangan dan ketenteraman bukan hanya bagi yang menerimanya, tetapi sekaligus kepada pemberinya.


Berkembangnya harta ini dapat dilihat dari dua aspek : Pertama, aspek spiritual, berdasarkan firman Allah dalam Al Quran : "Allah memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah serta zakat." (Al Baqarah : 276). Kedua, aspek psikologis, yakni ketenangan jiwa pemberi zakat. Dengan ketenangan jiwa ini, maka berarti sedekah dan zakat akan mengantarnya berkonsentrasi dalam usaha dan mendorong terciptanya daya beli dan produksi baru bagi produsen. Bahkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dikenal luas di kalangan para ulama maupun juru dakwah (dai') disebutkan bahwa berzakat dan bersedekah secara keimanan memiliki potensi untuk mencegah datangnya musibah orang yang bersangkutan.


Kesadaran berzakat umat Islam, khususnya di Indonesia, kini memang masih rendah, meskipun di dalam Al Quran ditegaskan oleh Allah SWT bahwa jika kepemilikan materi hanya beredar di kalangan orang-orang kaya, maka bencana hidup akan ditimpakan di antara mereka, karena didalam harta kaum the haves sesungguhnya terdapat hak (2,5 persen) kaum dhuafa. Selain menyangkut masalah keimanan, nampaknya budaya berbagi belum tumbuh baik di antara mereka yang sedang menikmati rizki berlimpah. Menurut KH Didin Hafiduddin, potensi zakat di Indonesia ditaksir bisa mencapai 7,6 triliun rupiah per tahun. Tetapi kenyataannya, berapa zakat yang bisa terkumpul? Tahun 1999 saja hanya terkumpul Rp 40 miliar.


Potensi zakat

Jika kesadaran berzakat dapat ditumbuhkan serta ditingkatkan, dan dana yang terkumpul dikelola secara profesional atau bertanggung jawab, maka problem seputar kemiskinan yang sudah berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya seharusnya bisa diatasi. Indonesia memiliki potensi strategis yang layak dikembangkan menjadi salah satu instrumen pemerataan pendapatan yaitu institusi zakat, infak, sedekah (ZIS). Karena secara demografis, mayoritas penduduknya muslim. Jika hal ini dapat didayagunakan secara maksimal, maka secara hipotetik, zakat berpotensi mempengaruhi aktivitas ekonomi, termasuk di dalamnya adalah penguatan pemberdayaan ekonomi nasional.


Angka taksiran potensi zakat oleh KH Didin Hafiduddin tersebut di atas hanya merupakan salah satu jenis zakat saja, yakni zakat pendapatan/penghasilan yang dalam literatur klasik tidak ada pengaturannya secara rinci. Jika mengambil referensi dari hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, sebenarnya masih ada lagi sumber-sumber zakat yang bisa dikelola. Di antaranya zakat emas dan perak, zakat barang perniagaan, zakat binatang ternak yang mencari makan sendiri (unta, sapi, kambing), dan zakat dari tumbuh-tumbuhan.


Dalam perkembangan dunia modern, potensi zakat yang bisa dikelola adalah zakat profesi (dokter, arsitek, pengacara, dan lain-lain), zakat perusahaan yang juga sangat potensial untuk dikembangkan khususnya yang dimiliki umat Islam, zakat pemilikan surat-surat berharga (saham, obligasi, commercial paper ). Ini semua adalah potensi-potensi zakat yang jika terkumpul melalui suatu institusi dan bisa dikelola melalui sistem serta manajemen yang modern akan menghasilkan suatu dana yang luar biasa besarnya dan mungkin melebihi aset-aset pemerintah yang ada sekarang ini.


Pemberdayaan

Agar zakat dapat didayagunakan secara optimal dalam rangka pemberdayaan umat, diperlukan terobosan yang memungkinkan cita-cita mulia itu terwujud. Dari Al Qur’an Surat At-Taubah ayat 60 jelas terlihat bahwa prioritas utama yang berhak menerima zakat adalah kaum fakir dan miskin. Selama ini zakat kepada kaum fakir dan miskin adalah berupa uang yang diberikan secara langsung. Hal ini bisa diterima dan dimengerti mengingat bahwa uang yang terkumpul dari zakat jumlahnya masih relatif sedikit, sehingga pengelola zakat tidak bisa berbuat lebih banyak lagi dengan jumlah uang yang ada.


Namun, jika dana yang terkumpul sudah membesar, maka perlu ada terobosan baru dalam sistem penyaluran zakat tersebut. Minimal ada dua bidang yang harus dibenahi. Pertama, penyaluran zakat tidak hanya dilakukan secara konvensional, tetapi juga harus memberikan wawasan baru dan meningkatkan kemampuan intelektual dari penerima zakat tersebut. Program ini bisa dilaksanakan dengan jalan, misalnya memberikan beasiswa untuk pendidikan kepada para putra-putri penerima zakat. Dengan demikian, pada generasi kedua dari penerima zakat ini sudah dapat menikmati adanya perbaikan dalam wawasan ilmu dan pengetahuan, sehingga mereka memperoleh lapangan kerja yang lebih baik dari orangtua mereka.


Adanya korelasi positif antara pendidikan dan pendapatan sudah sejak lama menjadi kajian yang dilakukan di negara-negara Barat maupun negara-negara berkembang. Dalam jangka panjang atau wacana ke depan, kiranya perlu dipikirkan untuk mendirikan suatu institusi pendidikan, penerbitan dan lain-lainnya yang akan memberikan dampak positif bagi pemberdayaan sosial-ekonomi penerima zakat.

Kedua, dalam menyalurkan zakat sudah saatnya disertai dengan pembinaan manajemen terhadap para penerimanya. Artinya, para penerima zakat sekaligus mendapat bimbingan dari pihak pengelola zakat baik langsung atau oleh siapa saja yang menjadi partner pengelola zakat tersebut. Sehingga penerima zakat dalam mengelola usaha sendiri -- apakah itu usaha kecil, home industry atau usaha halal lainnya -- bisa memperoleh nilai tambah (value added) yang lebih dari pengelola zakat. Dengan program ini, betul-betul diharapkan bahwa para penerima zakat tersebut untuk jangka waktu tertentu sudah dapat berdiri sendiri dan kelak bisa berganti posisi sebagai pembayar zakat. Tentu saja perlu dirancang suatu scheme dan strategi yang jitu dan tepat guna bagi penerima zakat tersebut.


Penulis adalah alumnus Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta

http://www.hupelita.com/baca.php?id=4731

1

LAUNCHING KELUARGA CINTA ZAKAT PANASONIC GOBEL INDONESIA

Berita Baznas

Jakarta, 30 Juni 2009. Kesadaran akan pentingnya sosialisasi zakat dan pembudayaannya dalam kehidupan sehari-hari telah menggerakkan Panasonic Gobel Indonesia untuk meluncurkan gerakan keluarga cinta zakat di lingkungan keluarga besar Panasonic Gobel Indonesia pada Kamis (25/6) di kantor pusat Matsushita Gobel Foundation Jakarta. Diresmikan oleh Abdullah Gobel, pimpinan Panasonic Gobel Group, serta disaksikan oleh Ketua UPZ Panasonic Gobel, Achmad Daniri serta Naharus Surur dan Muzaffar Daud mewakili pengurus Badan Amil Zakat Nasional (Baznas). Panasonic Gobel sebelumnya sudah melakukan kerjasama dengan Baznas yakni melalui Unit Pelayanan Zakat (UPZ) Matsushita Gobel Foundation sejak Mei 2008.

Menurut Muzaffar Daud, anggota badan pelaksana Baznas, peluncuran ini dilakukan sebagai upaya bersama antara para karyawan dan keluarga Panasonic Gobel Indonesia dengan Baznas untuk mengoptimalkan peran UPZ dalam penghimpunan dana zakat, infaq dan shadaqah (ZIS) di lingkungan Panasonic Gobel. ”Saya mengapresiasi positif upaya ini, semoga ke depan, penghimpunan dan pengelolaan zakat di lingkungan kerja Panasonic Gobel akan lebih berdayaguna,” harap Muzaffar. Dalam kesempatan tersebut, Naharus Surur, ketua bidang jaringan badan pelaksana Baznas juga menyampaikan presentasi tentang kewajiban penunaian zakat baik secara perseorangan maupun kelembagaan, seperti zakat perusahaan. Menurut Naharus, pembayaran zakat melalui Baznas dapat diperhitungkan sebagai nilai pengurang penghasilan kena pajak.


Komitmen Berzakat dengan Celengan

Achmad Daniri, selaku ketua UPZ Matsushita Gobel Foundation menyambut baik sinergi antara zakat dan pajak tersebut. ”Semoga dengan bekerjasama dengan Baznas dan mendapatkan kemudahan pengurangan nilai kena pajak, para muzakki di keluarga besar Panasonic Gobel akan semakin terpacu untuk meningkatkan pengumpulan dana ZIS, apalagi saat ini sudah mendekati bulan Ramadhan,” harapnya. Hal yang unik dalam acara tersebut, para undangan yang merupakan perwakilan dari anak-anak perusahaan Panasonic Gobel Group masing-masing mendapatkan celengan plastik yang harus diisi dengan dana zakat, infaq dan shadaqah. ”Di celengan palstik itu tertulis komitmen untuk kembali ke UPZ tanggal 28 Agustus 2009 yang sudah masuk bulan Ramadhan untuk berzakat, berinfaq dan bershadaqah,” jelas mantan Dirut BEJ ini sambil tersenyum. Acara yang dihadiri sekitar 80 orang ini juga diisi oleh tilawah Al-Quran dan ditutup dengan ramah tamah antar undangan.

Baznas membentuk UPZ di berbagai perusahaan yang bertujuan untuk mensinergikan pengelolaan ZIS di unit kerja perusahaan maupun isntansi pemerintah dengan standarisasi pengeloaan dan program-program Baznas. Pada beberapa UPZ yang tidak menyetor kepada Baznas, dana yang dihimpun akan dikelola dan didistribusikan oleh UPZ masing-masing sesuai kebijakan unit kerja mereka.

Semoga gerakan cinta zakat dapat ditiru oleh perusahaan-perusahaan lain dalam meningkatkan kesadaran umat Islam Indonesia, terutama untuk menghimpun dana ZIS mereka dan mendayagunakannya untuk kemaslahatan umat. Amiin. (ful)

0

Perbedaan Zakat dan Shodaqoh

Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan apabila telah memenuhi syarat – syarat yang telah ditentukan oleh agama, dan disalurkan kepada orang–orang yang telah ditentukan pula, yaitu delapan golongan yang berhak menerima zakat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 : “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana .”

Jika zakat terbatasi pada ketentuan nishab dan haul, Sementara pengertian infaq adalah mengeluarkan harta yang mencakup zakat dan non zakat. Infaq ada yang wajib dan ada yang sunnah. Infaq wajib diantaranya zakat, kafarat, nadzar, dll. adapun Infak sunnah diantara nya, infak kepada fakir miskin sesama muslim, infak bencana alam, infak kemanusiaan, dll. infaq dan shodaqoh dapat dilakukan kapan saja tanpa batasan jumlah. Rasulullah Muhammad SAW selalu mendorong umatnya berinfaq dan shodaqoh baik di kala lapang maupun sempit. Terkait dengan infak ini Rasulullah SAW bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore : "Ya Allah SWT berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain : "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran".

Donasi yang terkumpul dari infaq dan sedekah dikelola secara amanah dan profesional untuk dikembalikan ke masyarakat yang membutuhkan dalam program-program populis dan pemberdayaan, seperti pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, maupun aksi social.

Adapun Shadaqoh dapat bermakna infak, zakat dan kabaikan non materi. Dalam hadits Rasulullah SAW memberi jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu terhadap orang kaya yang banyak bershadaqoh dengan hartanya, beliau bersabda : "Setiap tasbih adalah shadaqoh, setiap takbir shadaqoh, setiap tahmid shadaqoh, setiap tahlil shadaqoh, amar ma'ruf shadaqoh, nahi munkar shadaqoh dan menyalurkan syahwatnya pada istri shadaqoh". Dan shadaqoh adalah ungkapan kejujuran ( shiddiq ) iman seseorang.
Selain itu, ada istilah shadaqah dan infaq, sebagian ulama fiqh, mengatakan bahwa sadaqah wajib dinamakan zakat, sedang sadaqah sunnah dinamakan infaq. Sebagian yang lain mengatakan infaq wajib dinamakan zakat, sedangkan infaq sunnah dinamakan shadaqah.

0

MENGENAL BAITUL MAAL

Oleh: Karnaen Anwar Perwataatmadja
Dewan Pengawas Syariah BRI dan mantan direktur Islamic Development Bank (IDB) mewakili Indonesia, Malaysia dan Brunei

Lembaga keuangan pertama yang pernah menyatu dengan masjid adalah Baitul Maal. Baitul Maal berasal dari kata bait artinya rumah dan al maal artinya harta benda atau kekayaan . Dalam sejarahnya Baitul Maal telah ada sejak zaman Rasulullah saw ketika pertama kali (tahun ke-2 Hijrah) kaum Muslim memperoleh harta rampasan perang (ghanîmah) dalam Perang Badar (Zallum, 1983). Ketika itu, para sahabat berselisih pendapat tentang cara pembagian ghanîmah tersebut lalu turun firman Allah Swt. dalam Surat An Anfaal ayat 1 (Al Qur’an 8:1) yang menjelaskan bahwa pembagian harta rampasan perang itu mengikuti ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya pada Surat Anfaal ayat 41 (Al Qur’an 8:41) secara jelas diatur bahwa ghanîmah itu dibagi menjadi lima bagian, yaitu : satu bagian (khums) untuk Allah, Rasulullah, keluarganya, yatim piatu, orang miskin, dan musyafir; sedang sisanya dibagikan diantara mereka yang terjun ke medan perang .

Bedasarkan ayat ini, selain Allah menjelaskan hukum pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum Muslim, juga memberikan kekuasaan kepada Rasulullah saw untuk membagikannya sesuai dengan pertimbangan untuk kemaslahatan kaum Muslim. Sejak saat itu, ghanîmah telah menjadi hak Baitul Mal dan pengelolaannya dilakukan oleh Rasulullah saw sendiri sebagai waliyyul amri kaum Muslim. (Zallum, 1983).

Pada masa Rasulullah saw, Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena pada saat itu harta yang diperoleh jumlahnya tidak begitu banyak dan selalu habis dibagikan serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan kaum Muslim. Rasulullah saw. selalu membagikan ghanîmah dan satu perlima bagian (al-akhmas) daripadanya segera setelah peperangan selesai. Pada perkembangan selanjutnya pemasukkan harta pada Baitul Maal bukan hanya dari rampasan perang tetapi dari berbagai penerimaan yang lain, seperti : pada tahun yang sama (tahun ke-2 Hijrah) shodaqoh fitri atau zakat fitrah diwajibkan, kemudian waqaf pada tahun ke-3 Hijrah sesuai dengan petunjuk Al Qur’an Surat Al Hasyr ayat 7. Kharaj atau sewa atas tanah mulai ditarik pada tahun ke-7 Hijriah berdasarkan petunjuk Al Qur’an Surat Al Anfaal ayat 1 dan Surat Al Hasyr ayat 6 dan 7 ketika Khaibar ditaklukan, kemudian setelah penduduk muslim meningkat kesejahteraannya zakat atas harta dan zakat atas hasil pertanian dan perkebunan atau ushr mulai diwajibkan pada tahun ke-8 Hijriah berdasarkan petunjuk surat-surat Al Qur’an yang turun di Medinah (yaitu : 2:43,83,110,177; 4:77,162; 5:12,55; 9: 5,11,18,58, 60,71,103, 104: 22:41,78; 24:37,56; 31:4; 33:33; 58:13; 98:5), dan akhirnya pada tahun ke-8 Hijriah pula jizya ditetapkan Rasulullah dan dikenakan kepada non-muslim yang mendapat perlindungan. Pendapatan lainnya adalah kafarat atau denda yang dikenakan kepada seorang muslim yang melakukan pelanggaran berdasarkan petunjuk surat-surat Al Qur’an yang turun di Medinah (yaitu :.4:92; 5:95; 66:2), ushr dalam arti bea masuk yang dikenakan setiap tahun kepada semua pedagang terhadap barang yang bernilai lebih dari 200 dirham, tebusan tawanan perang kecuali perang Hunain, khumus atas rikaz harta karun, amwal fadhla atau harta tak bertuan, nawaib atau pajak terhadap orang kaya untuk menutupi pengeluaran negara pada masa darurat, dan pinjaman.

Sepeninggal Rasulullah saw, ke Khalifahan dilanjutkan oleh 4 sahabat beliau yang disebut Khulafa ar Rasyidun. Abu Bakar r.a. menjadi khalifah pertama yang tetap mempertahankan tradisi Rasulullah. Harta yang sampai kepadanya dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, dibawa ke Masjid Nabawi untuk dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

Setelah Abu Bakar r.a wafat, ‘Umar ibn al-Khaththab r.a. dibaiat menjadi khalifah, beliau banyak melakukan penaklukan (futûhât) negara lain. Kaum Muslim berhasil menguasai negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), sehingga semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah.

‘Umar r.a. kemudian mendirikan sebuah tempat khusus untuk menyimpan harta, membentuk departemen-departemen (diwan-diwan) dengan urusannya masing-masing, melantik para pegawainya (penulisnya), menetapkan gaji dari harta Baitul Maal, dan membentuk angkatan perang. Kadangkala, beliau menyimpan seperlima bagian dari harta ghanîmah di masjid dan segera membagi-bagikannya. Keadaan yang sama juga berlaku pada masa kekhilafahan ‘Utsman ibn ‘Affan r.a.. ‘Utsman r.a. juga menggunakan harta.bahkan meminjam dari Baitul Maal.

Pada masa pemerintahan ‘Ali ibn Abi Thalib r.a., pengelolaan Baitul Maal diletakkan kembali pada kedudukan sebelumnya. ‘Ali r.a. hanya mau menerima tunjangan dari Baitul Maal untuk keperluan hidupnya yang sederhana.

Setelah masa Khalifah ur Rasyidun, kedudukan Baitu Maal pasang surut antara dikendalikan dengan penuh kehati-hati dan amanat rakyat, atau berada sepenuhnya di bawah kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertikaikan atau dikritik oleh rakyat. Namun demikian, terlepas dari pelbagai penyimpangan yang terjadi, Baitul Maal seharusnya dicatat dalam panggung sejarah Islam sebagai sebuah institusi negara yang banyak berjasa dalam perkembangan peradaban Islam dan mewujudkan kesejahteraan bagi kaum Muslim. Keberadaannya telah menghiasi lembaran sejarah Islam dan berlanjut terus sehingga runtuhnya khilafah yang terakhir, yaitu Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924. (Muhammad Zainuddin, 2001).

0

Zakat dan Hikmahnya.

Ditengah-tengah berbagai krisis yang sedang melanda bangsa kita sekarang ini, sudah sepantasnya (bahkan seharusnya) apabila kita melihat secara lebih seksama dan sungguh-sungguh beberapa jalan keluar yang dikemukakan ajaran islam, yang kita yakini kebenarannya dan ketepatannya (QS. 2:2, QS. 2:147, QS. 17:9). Salah satunya adalah penataan zakat, infak dan shadaqah (ZIS) secara benar dan bertanggung jawab.

Zakat adalah ibadah maaliyah ijtima'iyah yang memiliki posisi yang sangat penting, strategis dan menentukan (Yusuf Qordhowi, Al Ibadah, 1993) baik dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan ummat. Sebagai suatu ibadah pokok zakat termasuk salah satu rukun Islam yang lima, seperti diungkapkan hadits nabi (Mus'id As-Sa'dani Al Arba'in An-Nawawiyyah, 1994) sehingga keberadaannya dianggap makhan min ad-dien bi adl-dlarurah (ketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman) (Ali Yafie, Fiqh Sosial, 1994). Di dalam Al Qu'ran terdapat kurang lebih 27 ayat yang mensejajarkan shalat dengan kewajiban zakat, dan hanya satu kali disebutkan dalam konteks yang sama akan tetapi dalam ayat berbeda, yaitu surat Al-Mukminun ayat 2 dengan ayat 4 (Yusuf Qardhawi, Fiqh Zakat, 1973).


Al Qur'an menyatakan bahwa kesediaan berzakat di pandang sebagai indikator utama kedudukan seseorang kepada ajaran Islam (QS. 9:5 dan QS. 9:11), sekaligus sebagai ciri orang yang mendapatkan kebahagiaan (QS. 23:4), akan mendapatkan rahmat dan pertolonganNya (QS.9: 71 dan QS. 22: 40-41). Kesadaran berzakat dipandang sebagai orang yang memperhatikan hak fakir miskin dan para mustahik (orang yang berhak mendapatkan zakat) lainnya (QS. 9:60), sekaligus dipandang sebagai orang yang membersihkan, menyuburkan dan mengembangkan hartanya serta mensucikan jiwanya (QS. 9:103 dan QS. 30:39).


Sebaliknya Al Qur'an dan hadits Nabi memeberkan peringatan keras terhadap orang yang enggan mengeluarkannya, berhak untuk diperangi (HR. Imam Bukhari dan Muslim dari sanadnya Ibnu Umar), harta bendanya akan hancur dirusak (HR. Imam Bazzar dan Baihaqi), dan apabila keengganan itu memasal, maka Allah SWT akan menurunkan ahzab Nya dalam bentuk kemarau yang panjang (HR. Imam Thabrani). Sedangkan di akhirat nanti, harta benda yang tidak dikeluarkannya akan menjadi azab bagi pemiliknya (QS. 9:34-35) dan HR. Imam Muslim dari sanadnya Jabir bin Abdullah. Karena itu Khalifah Abu Bakar Siddiq bertekad untuk memerangi orang yang mau shalat tetapi secara sadar dan sengaja enggan untuk berzakat (Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, 1968). Abdullah bin mas'ud menyatakan bahwa, barang siapa yang melaksanakan shalat tetapi enggan melaksanakan zakat, maka tidak ada shalat baginya (abdul Qasim bin Salam, Al Amwaal, 1986).


Disamping zakat, dikenal pula infaq dan shadaqah, yang keduanya merupakan bagian dari keimanan seseorang, artinya infaq dan shadaqah itu merupakan ciri utama orang yang benar keimanannya (QS. 8: 3-4), ciri utama orang yang bertaqwa (QS. 2: 3 dan QS. 9: 134), ciri mu'min yang mengharapkan balasan yang abadi dari Allah SWT (QS. 35: 29). Atas dasar itu, infaq dan shadaqah sangat dianjurkan dalam segala keadaan, sesuai dengan kemampuan (Qs 3: 134). Jika enggan berinfaq, maka sama halnya dengan menjatuhkan diri pada kebinasaan (QS. 2: 195). Infaq dan shadaqah tidak ditentukan jumlahnya (bisa besar, kecil banyak atau sedikit) tidak ditentukan pula sasaran penggunannya, yaitu semua kebaikan yang diperintahkan ajaran Islam (QS. 2:213).