Thursday, July 9, 2009

Kesadaran Berzakat, Berdayakan Ekonomi Umat

Oleh Muttaqien


Pada bulan Ramadhan ini, selain umat Islam diwajibkan berpuasa, masih ada kewajiban tahunan lainnya, yakni berzakat kepada para fakir dan miskin (dhuafa). Namun kewajiban membayar zakat ini tidak terbatas pada zakat fitrah semata, karena masih ada kewajiban membayar zakat lainnya, seperti zakat profesi, zakat perhiasan, dan lain sebagainya. Ada sejumlah golongan orang yang wajib menerima zakat. Yang utama adalah orang fakir (fuqoro) dan orang miskin (masakin). Setelah itu musafir (musafirin ), orang yang sedang menuntut ilmu di jalan Allah namun kekurangan biaya (ibnu sabil), orang yang baru masuk Islam (mu'allafah), dan pekerja yang kondisinya miskin (amilin).


Empat puluh persen lebih penduduk Indonesia yang mayoritas muslim, atau sekitar 50 juta jiwa, hidup dalam kondisi miskin (Biro Pusat Statistik, 2001). Belenggu kemiskinan mereka inilah yang telah menimbulkan kekurangan gizi, kesehatan yang buruk (baik fisik maupun mental), rumah-rumah tidak layak huni, dan pendi-dikan anak yang terbengkalai. Dampak negatif lain dari kemiskinan yang luas tersebut adalah memicu terjadi-nya banyak tindak kriminalitas, karena kelaparan yang menimpa orang-orang lemah iman seringkali membuat akal sehatnya tak dapat mereka gunakan lagi, sehingga banyak yang terlibat kasus pencurian, pencopetan, penodongan, dan perampokan.


Zakat, yang secara harfiah bermakna pembersih, pada hakikatnya memiliki makna ganda. Pertama, sebagai sebuah ibadah. Ada sekitar 20 ayat dalam Al Quran yang menggandengkan perintah zakat dengan shalat. Kedua, zakat pun memiliki fungsi sosial yang tinggi, yakni sebagai upaya menanggulangi ketimpangan distribusi pendapatan, mengurangi kemiskinan, dan mengatasi pengangguran (Timur Kuran, Alternative Economic of Islam, 1996). Fungsi sosial inilah yang kemudian dikembangkan para ekonom Islam sebagai dasar kebijakan fiskal dalam sistem ekonomi Islam. Legitimasi dari Allah dalam Al Quran telah menjadikan zakat memiliki landasan sangat kuat untuk memotivasi umat Islam menunaikannya.


Fungsi zakat

Allah SWT dalam Al Quran berfirman: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketenteraman jiwa mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" (At Taubah: 103). Kata tuthahhiruhum dalam ayat itu bermakna membersihkan jiwa, sedangkan tuzakkihim bermakna mengembangkan harta. Karena itu, dengan ajaran zakat, ada dua manfaat yang diperoleh : jiwa menjadi suci dan harta makin berkembang, bukan terkurangi.

Misi pencucian dosa dalam berzakat memiliki dimensi ganda. Pertama, sebagai sarana pembersihan jiwa dari sifat serakah bagi orang yang berzakat, karena dia dituntut untuk berkorban (menyantuni) demi mengurangi penderitaan orang-orang lain. Kedua, zakat sebagai penebar kasih sayang kepada kaum yang tidak beruntung sekaligus sebagai penghalang tumbuhnya benih kebencian dari si miskin terhadap kaum kaya. Dengan demikian, zakat dapat menciptakan ketenangan dan ketenteraman bukan hanya bagi yang menerimanya, tetapi sekaligus kepada pemberinya.


Berkembangnya harta ini dapat dilihat dari dua aspek : Pertama, aspek spiritual, berdasarkan firman Allah dalam Al Quran : "Allah memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah serta zakat." (Al Baqarah : 276). Kedua, aspek psikologis, yakni ketenangan jiwa pemberi zakat. Dengan ketenangan jiwa ini, maka berarti sedekah dan zakat akan mengantarnya berkonsentrasi dalam usaha dan mendorong terciptanya daya beli dan produksi baru bagi produsen. Bahkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW yang dikenal luas di kalangan para ulama maupun juru dakwah (dai') disebutkan bahwa berzakat dan bersedekah secara keimanan memiliki potensi untuk mencegah datangnya musibah orang yang bersangkutan.


Kesadaran berzakat umat Islam, khususnya di Indonesia, kini memang masih rendah, meskipun di dalam Al Quran ditegaskan oleh Allah SWT bahwa jika kepemilikan materi hanya beredar di kalangan orang-orang kaya, maka bencana hidup akan ditimpakan di antara mereka, karena didalam harta kaum the haves sesungguhnya terdapat hak (2,5 persen) kaum dhuafa. Selain menyangkut masalah keimanan, nampaknya budaya berbagi belum tumbuh baik di antara mereka yang sedang menikmati rizki berlimpah. Menurut KH Didin Hafiduddin, potensi zakat di Indonesia ditaksir bisa mencapai 7,6 triliun rupiah per tahun. Tetapi kenyataannya, berapa zakat yang bisa terkumpul? Tahun 1999 saja hanya terkumpul Rp 40 miliar.


Potensi zakat

Jika kesadaran berzakat dapat ditumbuhkan serta ditingkatkan, dan dana yang terkumpul dikelola secara profesional atau bertanggung jawab, maka problem seputar kemiskinan yang sudah berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya seharusnya bisa diatasi. Indonesia memiliki potensi strategis yang layak dikembangkan menjadi salah satu instrumen pemerataan pendapatan yaitu institusi zakat, infak, sedekah (ZIS). Karena secara demografis, mayoritas penduduknya muslim. Jika hal ini dapat didayagunakan secara maksimal, maka secara hipotetik, zakat berpotensi mempengaruhi aktivitas ekonomi, termasuk di dalamnya adalah penguatan pemberdayaan ekonomi nasional.


Angka taksiran potensi zakat oleh KH Didin Hafiduddin tersebut di atas hanya merupakan salah satu jenis zakat saja, yakni zakat pendapatan/penghasilan yang dalam literatur klasik tidak ada pengaturannya secara rinci. Jika mengambil referensi dari hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, sebenarnya masih ada lagi sumber-sumber zakat yang bisa dikelola. Di antaranya zakat emas dan perak, zakat barang perniagaan, zakat binatang ternak yang mencari makan sendiri (unta, sapi, kambing), dan zakat dari tumbuh-tumbuhan.


Dalam perkembangan dunia modern, potensi zakat yang bisa dikelola adalah zakat profesi (dokter, arsitek, pengacara, dan lain-lain), zakat perusahaan yang juga sangat potensial untuk dikembangkan khususnya yang dimiliki umat Islam, zakat pemilikan surat-surat berharga (saham, obligasi, commercial paper ). Ini semua adalah potensi-potensi zakat yang jika terkumpul melalui suatu institusi dan bisa dikelola melalui sistem serta manajemen yang modern akan menghasilkan suatu dana yang luar biasa besarnya dan mungkin melebihi aset-aset pemerintah yang ada sekarang ini.


Pemberdayaan

Agar zakat dapat didayagunakan secara optimal dalam rangka pemberdayaan umat, diperlukan terobosan yang memungkinkan cita-cita mulia itu terwujud. Dari Al Qur’an Surat At-Taubah ayat 60 jelas terlihat bahwa prioritas utama yang berhak menerima zakat adalah kaum fakir dan miskin. Selama ini zakat kepada kaum fakir dan miskin adalah berupa uang yang diberikan secara langsung. Hal ini bisa diterima dan dimengerti mengingat bahwa uang yang terkumpul dari zakat jumlahnya masih relatif sedikit, sehingga pengelola zakat tidak bisa berbuat lebih banyak lagi dengan jumlah uang yang ada.


Namun, jika dana yang terkumpul sudah membesar, maka perlu ada terobosan baru dalam sistem penyaluran zakat tersebut. Minimal ada dua bidang yang harus dibenahi. Pertama, penyaluran zakat tidak hanya dilakukan secara konvensional, tetapi juga harus memberikan wawasan baru dan meningkatkan kemampuan intelektual dari penerima zakat tersebut. Program ini bisa dilaksanakan dengan jalan, misalnya memberikan beasiswa untuk pendidikan kepada para putra-putri penerima zakat. Dengan demikian, pada generasi kedua dari penerima zakat ini sudah dapat menikmati adanya perbaikan dalam wawasan ilmu dan pengetahuan, sehingga mereka memperoleh lapangan kerja yang lebih baik dari orangtua mereka.


Adanya korelasi positif antara pendidikan dan pendapatan sudah sejak lama menjadi kajian yang dilakukan di negara-negara Barat maupun negara-negara berkembang. Dalam jangka panjang atau wacana ke depan, kiranya perlu dipikirkan untuk mendirikan suatu institusi pendidikan, penerbitan dan lain-lainnya yang akan memberikan dampak positif bagi pemberdayaan sosial-ekonomi penerima zakat.

Kedua, dalam menyalurkan zakat sudah saatnya disertai dengan pembinaan manajemen terhadap para penerimanya. Artinya, para penerima zakat sekaligus mendapat bimbingan dari pihak pengelola zakat baik langsung atau oleh siapa saja yang menjadi partner pengelola zakat tersebut. Sehingga penerima zakat dalam mengelola usaha sendiri -- apakah itu usaha kecil, home industry atau usaha halal lainnya -- bisa memperoleh nilai tambah (value added) yang lebih dari pengelola zakat. Dengan program ini, betul-betul diharapkan bahwa para penerima zakat tersebut untuk jangka waktu tertentu sudah dapat berdiri sendiri dan kelak bisa berganti posisi sebagai pembayar zakat. Tentu saja perlu dirancang suatu scheme dan strategi yang jitu dan tepat guna bagi penerima zakat tersebut.


Penulis adalah alumnus Fakultas Tarbiyah UIN Jakarta

http://www.hupelita.com/baca.php?id=4731

0 comments:

Post a Comment