0

MENGENAL BAITUL MAAL

Oleh: Karnaen Anwar Perwataatmadja
Dewan Pengawas Syariah BRI dan mantan direktur Islamic Development Bank (IDB) mewakili Indonesia, Malaysia dan Brunei

Lembaga keuangan pertama yang pernah menyatu dengan masjid adalah Baitul Maal. Baitul Maal berasal dari kata bait artinya rumah dan al maal artinya harta benda atau kekayaan . Dalam sejarahnya Baitul Maal telah ada sejak zaman Rasulullah saw ketika pertama kali (tahun ke-2 Hijrah) kaum Muslim memperoleh harta rampasan perang (ghanîmah) dalam Perang Badar (Zallum, 1983). Ketika itu, para sahabat berselisih pendapat tentang cara pembagian ghanîmah tersebut lalu turun firman Allah Swt. dalam Surat An Anfaal ayat 1 (Al Qur’an 8:1) yang menjelaskan bahwa pembagian harta rampasan perang itu mengikuti ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Selanjutnya pada Surat Anfaal ayat 41 (Al Qur’an 8:41) secara jelas diatur bahwa ghanîmah itu dibagi menjadi lima bagian, yaitu : satu bagian (khums) untuk Allah, Rasulullah, keluarganya, yatim piatu, orang miskin, dan musyafir; sedang sisanya dibagikan diantara mereka yang terjun ke medan perang .

Bedasarkan ayat ini, selain Allah menjelaskan hukum pembagian harta rampasan perang dan menetapkannya sebagai hak bagi seluruh kaum Muslim, juga memberikan kekuasaan kepada Rasulullah saw untuk membagikannya sesuai dengan pertimbangan untuk kemaslahatan kaum Muslim. Sejak saat itu, ghanîmah telah menjadi hak Baitul Mal dan pengelolaannya dilakukan oleh Rasulullah saw sendiri sebagai waliyyul amri kaum Muslim. (Zallum, 1983).

Pada masa Rasulullah saw, Baitul Mal belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena pada saat itu harta yang diperoleh jumlahnya tidak begitu banyak dan selalu habis dibagikan serta dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan kaum Muslim. Rasulullah saw. selalu membagikan ghanîmah dan satu perlima bagian (al-akhmas) daripadanya segera setelah peperangan selesai. Pada perkembangan selanjutnya pemasukkan harta pada Baitul Maal bukan hanya dari rampasan perang tetapi dari berbagai penerimaan yang lain, seperti : pada tahun yang sama (tahun ke-2 Hijrah) shodaqoh fitri atau zakat fitrah diwajibkan, kemudian waqaf pada tahun ke-3 Hijrah sesuai dengan petunjuk Al Qur’an Surat Al Hasyr ayat 7. Kharaj atau sewa atas tanah mulai ditarik pada tahun ke-7 Hijriah berdasarkan petunjuk Al Qur’an Surat Al Anfaal ayat 1 dan Surat Al Hasyr ayat 6 dan 7 ketika Khaibar ditaklukan, kemudian setelah penduduk muslim meningkat kesejahteraannya zakat atas harta dan zakat atas hasil pertanian dan perkebunan atau ushr mulai diwajibkan pada tahun ke-8 Hijriah berdasarkan petunjuk surat-surat Al Qur’an yang turun di Medinah (yaitu : 2:43,83,110,177; 4:77,162; 5:12,55; 9: 5,11,18,58, 60,71,103, 104: 22:41,78; 24:37,56; 31:4; 33:33; 58:13; 98:5), dan akhirnya pada tahun ke-8 Hijriah pula jizya ditetapkan Rasulullah dan dikenakan kepada non-muslim yang mendapat perlindungan. Pendapatan lainnya adalah kafarat atau denda yang dikenakan kepada seorang muslim yang melakukan pelanggaran berdasarkan petunjuk surat-surat Al Qur’an yang turun di Medinah (yaitu :.4:92; 5:95; 66:2), ushr dalam arti bea masuk yang dikenakan setiap tahun kepada semua pedagang terhadap barang yang bernilai lebih dari 200 dirham, tebusan tawanan perang kecuali perang Hunain, khumus atas rikaz harta karun, amwal fadhla atau harta tak bertuan, nawaib atau pajak terhadap orang kaya untuk menutupi pengeluaran negara pada masa darurat, dan pinjaman.

Sepeninggal Rasulullah saw, ke Khalifahan dilanjutkan oleh 4 sahabat beliau yang disebut Khulafa ar Rasyidun. Abu Bakar r.a. menjadi khalifah pertama yang tetap mempertahankan tradisi Rasulullah. Harta yang sampai kepadanya dari wilayah-wilayah kekuasaan Khilafah Islamiyah, dibawa ke Masjid Nabawi untuk dibagikan kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

Setelah Abu Bakar r.a wafat, ‘Umar ibn al-Khaththab r.a. dibaiat menjadi khalifah, beliau banyak melakukan penaklukan (futûhât) negara lain. Kaum Muslim berhasil menguasai negeri Kisra (Persia) dan Qaishar (Romawi), sehingga semakin banyaklah harta yang mengalir ke kota Madinah.

‘Umar r.a. kemudian mendirikan sebuah tempat khusus untuk menyimpan harta, membentuk departemen-departemen (diwan-diwan) dengan urusannya masing-masing, melantik para pegawainya (penulisnya), menetapkan gaji dari harta Baitul Maal, dan membentuk angkatan perang. Kadangkala, beliau menyimpan seperlima bagian dari harta ghanîmah di masjid dan segera membagi-bagikannya. Keadaan yang sama juga berlaku pada masa kekhilafahan ‘Utsman ibn ‘Affan r.a.. ‘Utsman r.a. juga menggunakan harta.bahkan meminjam dari Baitul Maal.

Pada masa pemerintahan ‘Ali ibn Abi Thalib r.a., pengelolaan Baitul Maal diletakkan kembali pada kedudukan sebelumnya. ‘Ali r.a. hanya mau menerima tunjangan dari Baitul Maal untuk keperluan hidupnya yang sederhana.

Setelah masa Khalifah ur Rasyidun, kedudukan Baitu Maal pasang surut antara dikendalikan dengan penuh kehati-hati dan amanat rakyat, atau berada sepenuhnya di bawah kekuasaan khalifah tanpa dapat dipertikaikan atau dikritik oleh rakyat. Namun demikian, terlepas dari pelbagai penyimpangan yang terjadi, Baitul Maal seharusnya dicatat dalam panggung sejarah Islam sebagai sebuah institusi negara yang banyak berjasa dalam perkembangan peradaban Islam dan mewujudkan kesejahteraan bagi kaum Muslim. Keberadaannya telah menghiasi lembaran sejarah Islam dan berlanjut terus sehingga runtuhnya khilafah yang terakhir, yaitu Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924. (Muhammad Zainuddin, 2001).